Fashion

Jam Mengajar Bukan Segalanya (sebuah perenungan)

Perubahan persepsi profesi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya tanpa disadari berpengaruh pada penyikapan kredibilitas kinerja. Wacana perubahan jam mengajar dari 24 jam/minggu menjadi 16 atau 18 jam/minggu (Joglosemar, 9 November 2013 ) menjadi sebuah kebaruan pemikiran dan berkonsekuensi pada reposisi profesi guru. Hakikat pemenuhan jam mengajar sampai saat ini dianut sebagai komponen utama penghargaan profesi guru. Kompetensi guru; berkaitan pola kenaikan pangkat termasuk pemenuhan beragam tunjangan berpijak pada besaran jam mengajar ini. Fenomena besaran jam mengajar sampai saat ini menjadi komponen pokok selama proses pembelajaran berlangsung. Diibaratkan guru sampai berdarah-darah menuntut besaran jam mengajar mencapai tahapan 24 jam/minggu karena berimplikasi pada pemenuhan kesejahteraan.
Pada beberapa kasus kerap kali ditemukan penghalalan beragam cara asalkan jam mengajar mencapai besaran 24 jam. Menggeser jam mengajar guru lain, mengejar jam mengajar hingga sekolah lain menjadi pemandangan lumrah yang terkadang di luar nalar edukatif. Menggeser jam mengajar rekan guru lain sementara guru penggeser kompetensinya tidak sebaik guru yang digeser sah-sah saja diberlakukan meski dengan mengedepankan mentalitas tebal muka. Mengejar jam hingga sekolah lain sementara kondisi fisik tidak mendukung sehingga manakala mengajar di sekolah induk hanya tinggal sisa-sisa energi dan menjadikan siswa sansak emosi tak berkesudahan menjadi pemandangan termaafkan demi konsekuensi jam mengajarnya.
Rencana perubahan perhitungan jam mengajar guru di atas secara tidak langsung merupakan angin segar bagi dunia keguruan di negeri ini. Pemandangan kontradiktif sekadar penghambaan aspek kuantitatif di atas diharapkan tidak berulang sporadis. Bagaimanakah selayaknya memperhitungkan kompetensi guru bersangkutan dengan harmonisasi memadai menjadi sebuah pertanyaan pokok dibandingkan mendiskusikan kuantitas pembelajaran guru bersangkutan. Pertanyaan menggelitik ini haruslah diapresiasikan secara proporsional agar homo homini lupus di kalangan pendidik ini tidak semakin kronis.
Kompetensi Semu Guru
Pergeseran paradigma besaran jam mengajar tidak akan selesai tuntas manakala reposisi pengajar tidak diberlakukan secara komprehensif. Besaran jam mengajar saat ini berkorelasi dengan besaran penghargaan pada guru bersangkutan. Penghargaan ini teramat bias mengingat penghitungan penghargaan profesi guru lebih pada permasalahan kuantitatif semata yakni besaran jam mengajar. Kompetensi pedagogi, kepribadian, profesional, dan sosial selama ini belum sepenuhnya terhitung dan hanya terhenti pada besaran jam mengajar semata.
Penghargaan profesi guru ini semakin salah kaprah manakala kompetensi nonpedagogi dipandang sebelah mata. Keberadaan beberapa rekan guru menulis buku, modul, lembar kerja siswa,; opini di media massa hingga; aktif dalam kegiatan Ormas dan menjadi kader kemasyarakatan lain terabaikan dengan kompetensi pedagogis ini. Dirunut lebih mendalam justru rekan-rekan guru yang melakukan aktivitas di luar kegiatan pembelajaran secara tidak langsung memberikan peran di masyarakat sebagai perwujudan guru seutuhnya.
Menelisik perjuangan bangsa ini bahkan banyak dijumpai pejuang dengan latar belakang guru yang memberikan nilai lebih dalam pola perjuangannya. Bukannya mengerdilkan tokoh pergerakan lain, namun keberanian seorang Suwardi Suryaningrat untuk melawan kolonialisme menginspirasi tokoh lain di negeri ini untuk bergerak lebih efisien. Kondisi ini berkebalikan dengan konteks guru masa kini, guru rajin menulis buku dianggap mata duitan; guru rajin menulis opini dianggap guru provokator dan guru aktif di Ormas dianggap legan golek momongan. Padahal dengan keaktifan guru di samping tugas mengajarnya memberikan warna tersendiri di tengah tudingan kian matrealismenya profesi guru.
Pengondisian guru sebatas melaksanakan tugas mengajar dalam jangka panjang justru mengerdilkan keberadaan profesi guru di tengah karut marut pendidikan di negeri ini. Prestasi guru saat ini ini lebih banyak dihitung dari komponen administratif sementara peran sosial guru terabaikan. Guru pun bermetamorfosis tidak ubahnya makhluk matrealistis semata sementara sisi humanisnya terlupakan.
Kondisi ini menjadikan beberapa guru tertentu menjadi sosok sedemikian heroik. Publik dibuat takjub dengan unggahan guru;guru yang dianggap spesial di media sosial dengan segenap keterbatasannya. Guru tetap mengajar sementara kondisi fisik tidak memungkinkan, guru mengajar sambil menggendong putranya sempat menjadi keunggulan tersendiri di jejaring sosial. Bukannya mengerdilkan arti rekan guru yang diunggah di media sosial tersebut namun bagi saya itulah selayaknya hakikat profesi guru. Sebuah profesi yang tidak silau materi di tengah gelimpangan tunjangan profesi.
Menurunnya daya kritis guru disebabkan penekanan aspek pengajaran ini secara tidak langsung menjadikan kebijakan pendidikan sedemikian steril dengan kritik dan mengurangi hakikat pendidikan. Teramat naif manakala menjumpai protes penyelenggaraan UN, dugaan penyimpangan PPDB justru diusung organisasi nonguru. Pengkritisan kebijakan pendidikan oleh organisasi nonguru di atas bukannya praktisi pendidikan menunjukkan  bagaimanakah kualitas praktisi bersangkutan. Teramat menggelikan manakala teringat beberapa bulan silam ketika seorang rekan guru yang mempersoalkan karut marut penyelenggaraan ujian semester di media massa justru dianggap pesakitan oleh pejabat berwenang.
Mengapresiasikan perjuangan guru di luar mentalitas mengejar jam mengajar di atas tidak ubahnya menemukan oase di tengah keringnya gurun pasir. Perubahan mainstream profesi guru jelas menjadi sebuah keharusan agar kemaslahatan profesi ini lebih berasa dampaknya. Bulan madu profesi guru selayaknya dioptimalkan agar pemberdayaan profesi ini menjangkau nalar sehat semua pihak. Disamping perubahan mainstream guru terdapat beragam hal lain sebagai pendukung di antaranya.
Reposisi penilaian penghargaan profesi guru menjadi langkah utama bagi peningkatan kemaslahatan profesi guru. Perhitungan penghargaan profesi sedemikian elegan manakala seluruh komponen penilaian kompetensi guru dikedepankan. Kompetensi pedagogi, kepribadian, profesional dan sosial harus diapresiasikan  dengan proporsional dan berkeadilan.
Bentuk penilaian komponen ini dapat diberlakukan dengan memadai salah satunya memberikan penilaian tersendiri pada guru yang menelurkan karya memadai baik berbentuk media cetak maupun internet. Di sisi lain manakala seorang guru aktif dalam kegiatan kemasyarakatan maupun Ormas yang mendukung perkembangan kualitas sumber daya manusia seutuhnya patut diapresiasikan tersendiri.
Pengedepanan penilaian berbasis masyarakat menjadi langkah lain dalam perhitungan kompetensi profesional guru. Pelibatan masyarakat ini dapat diapresiasikan dengan pemberian form tersendiri pada masyarakat di mana sang guru aktif dalam lembaga bersangkutan. Tentunya formulasi penilaian berbasis masyarakat ini diberlakukan dengan penuh transparansi kuat. Di sisi lain penilaian berbasis sosial ini menjadi fungsi kontrol sosial memadai agar guru melaksanakan tugas profesional lebih proporsional dan mengurangi bias penilaian administratif.
Profesi guru merupakan salah satu profesi yang memiliki peran teramat strategis dalam pencerdasan anak bangsa. Sangatlah tidak elok manakala kebijakan berkaitan profesi guru justru memberangus profesi ; dan kontraproduktif bagi pengembangan karakter yang digaungkan. Selamat Mengajar!
Sumber : Harian Joglo Semar
Jam Mengajar Bukan Segalanya (sebuah perenungan) Jam Mengajar Bukan Segalanya (sebuah perenungan) Reviewed by Skye on 7:07 PM Rating: 5

No comments:

Find us on Facebook

Powered by Blogger.